Rabu, 05 Desember 2012

METODOLOGI ILMU EKONOMI ISLAM

BAB I
P E N D A H U L U A N
Para ekonom muslim telah banyak melakukan kajian tentang metodologi ilmu ekonomi Islam. Masing-masing memiliki pendekatan berbeda namun tujuannya tetap sama. Sehingga hal ini menyebabkan terdapatnya beberapa mazhab dalam ekonomi Islam[1].Perbedaan cara pandang ini memiliki konsekuensi yang berbeda pula dalam hal metodologi. Ada para ahli ekonomi Islam yang mengunakan metode deduksi dengan merumuskan langsung dari sumber utama ekonomi Islam yakni Al-Quran dan As-Sunnah dan menolak teori ekonomi positif yang ada. Namun ada juga para ahli ekonomi Islam lainnya yang mengunakan pendekatan kedua duanya yakni dengan pendekatan deduksi dan induksi atau pemikiran restrospektif. Bagaimanapun juga metodologi ilmu ekonomi Islam sudah mulai mengelinding dan dapat kita
rasakan perkembangannya. Perdebatan-perdebatan seputar prinsip-prinsip dan hakekat ilmu ekonomi Islam -yang nantinya terkait dengan metodologinya- seperti apakah ekonomi Islam itu suatu ilmu pengetahuan yang normatif, positif atau kedua-duanya?. Apakah teori ekonomi Islam diperlukan, mengingat tidak adanya suatu ekonomi Islam yang aktual ?, dan juga apakah ilmu ekonomi Islam merupakan suatu sistem atau suatu ilmu pengetahuan?, juga sudah dijawab oleh beberapa ahli ekonomi Islam.[2]
Rumusan masalah :
1.      Pengertian, pendekatan dan model pengembangan metodologi ilmu ekonomi islam.
2.      Apakah ilmu ekonomi islam itu adalah suatu ilmu pengetahuan yang normatif, positif, atau bersifat kedua-duanya.?
3.      Apakah teori ekonomi islam diperlukan, mengingat tidak adanya suatu ekonomi islam yang aktual ?.
4.      Apakah ilmu ekonomi islam itu suatu “ sistem “ atau “ ilmu pengetahuan “ ?
5.      konsep dasar ekomi islam.

Tujuan penulisan :
1.      Memberikan penjelasan Pengertian, pendekatan dan model penegembangan metodologi ilmu ekonomi islam.
2.      Memberikan penjelasan apakah ilmu ekonomi islam itu adalah suatu ilmu pengetahuan yang normatif, positif, atau bersifat kedua-duanya ?
3.      Memberikan penjelasan apakah teori ekonomi islam diperlukan, mengingat tidak adanya suatu ekonomi islam yang aktual ?.
4.      Memberikan penjelasan tentang apakah ilmu ekonomi islam itu suatu “ sistem “ atau “ ilmu pengetahuan ‘’?
5.      Memberikan penjelasan tentang konsep dasar ekonomi islam .











BAB II
PEMBAHASAN
1.Pengertian Dan Model Pengembangan Metodologi Ilmu Ekonomi Islam
Metodologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari metode yang digunakan dalam suatu kegiatan ilmiah tertentu guna mencapai sesuatu asas dan kebijakan. Dengan demikian metodologi ilmu ekonomi Islam adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai sistematika pengalian ilmu ekonomi Islam guna mencapai sesuatu asas dan kebijakan yang sesuai dengan prinsip-prinsip normatif dan positif syariah Islam dalam upaya mencapai suatu kemanfaatan bersama.
Tujuan utama dari metodologi adalah membantu mencari kebenaran. Islam meyakini bahwa terdapat dua sumber kebenaran mutlak, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kebenaran inilah yang mendasari pengambilan keputusan ekonomi dan proses pengambilan keputusan inilah yang disebut sebagai rasionalitas islam.[3]
Literatur islam yang ada sekarang ini mengenai ekonomi menggunakan dua macam metode, yaitu:[4]   
a)      Metode deduksi, metode ini dikembangkan oleh para ahli hukum islam dan sangat dikenal di kalangan mereka, diaplikasikan terhadap ekonomi islam modern untuk menampilkan prinsip-prinsip islam dan kerangka hukumnya dengan berkonsultasi dengan sumber-sumber hukum islam, Al-Qur-an dan As-Sunnah.
b)      Metode pemikiran retrospektif, metode ini digunakan banyak penulis muslim kontemporer yang merasakan tekanan, kemiskinan dan keterbelakangan di dunia islam dan burusaha mencari berbagai pemecahan terhadap persoalan-persoalan ekonomi umat muslim dengan kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk mencari dukungan atas pemecahan tersebut dan mengujinya dengan memperhatikan petunjuk Tuhan.
Bagaimana mengembangkan yang perlu diterapkan untuk mendapatkan ilmu yang Islami ?. Menurut  Muhammad ada tiga model yang ditawarkan untuk diimplementasikan dalam pengembangan ilmu yang Islami, yaitu:
1.      Model Postulasi
2.      Model pengembangan multi disipliner dan Interdisipliner
3.      Model pengembangan reflektif-konseptual- tentatif-problematik[5]

1.Model Postulasi
Model ini dibangun dengan kerangka deduksi. Pijakannya berawal dari konsep idealisasi. Model ini berangkat dari konsep idealisasi, yang meliputi, konsep idealisasi teoritik, konsep idealisasi moralistik, dan konsep idealisasi transendental. Model postulasi dalam ekonomi Islam dapat masuk dalam konsep idealisasi transendental. Karena bertolak dari aksioma, postulat, hukum, nash, atau konstruksi teoritik holistik membangun keseluruhan sistematika disiplin ilmu itu.
Model ini akan lemah konstruksinya bila postulasinya dirumuskan atau dibangun secara apriori atau spekulatif, dan akan kuat bila dibangun lewat penelitian empirik atau lewat proses berpikir reflektif. Sebagai contoh model ini diterapkan oleh Haider Naqvi dalam pengembangan ilmu ekonomi Islam, dengan berdasarkan pada empat aksioma, yaitu: unity, equilibrium, free will, dan responsibility.[6] Artinya sistem ekonomi Islam dibangun dengan tujuan moral; keselarasan; keadilan; kebebasan yang tidak merusak keselarasan serta keadilan dan tanggung jawab.
Kejernihan akal budi memungkinkan  manusia menangkap makna integral dari moralitas al-Qur’an dan sunnaturrasul. Perlu disadari bahwa ada dua pemaknaan, yaitu pemaknaan substansif serta instrumentatif, dan pemaknaan dalam arti tafsir serta dalam arti takwil.

2.Model Pengembangan Multidisipliner dan Interdisipliner
Model ini adalah cara bekerjanya seorang ahli di suatu disiplin dan berupaya membangun disiplin ilmunya dengan berkonsultasi pada ahli-ahli disiplin lainAdapun yang dimaksud dengan kerja interdisipliner adalah cara kerja sejumlah ahli dari beragam keahlian dan spesialisasi untuk menghasilkan secara bersama atau membangun suatu teori atau merealisasikan suatu proyek. Kerja multidisiplin membangun disiplin ilmu ekonomi yang Islami, misalnya, akan tepat bila yang bersangkutan sekaligus memiliki kompetensi dalam disiplin ilmu ekonomi dan ilmu agama. Dengan kompetensi yang cukup tersebut merupakan modal terbaik untuk membangun suatu disiplin ilmu menjadi Islami.
3.Model pengembangan reflektif-konseptual-tentatif-problematik
Model ini merupakan paduan antara konsep idealisasi dan multidisipliner serta interdisipliner. Oleh karena itu, model ini dapat bergerak serentak dari konsep idealisasi teoritik, moralistik, sampai transendental secara reflektif. Model ini menuntut peneliti untuk berangkat dari konstruksi teoritik-sistematik ilmu yang berkembang. Bagian-bagian dilematik, inkonklusif, dan kontroversial dikonseptualisasikan secara reflektif dan disajikan dalam berbagai alternatif atau disajikan sebagai masalah yang belum konklusif. Beragam keraguan tersebut dikonsultasikan dengan nash.
Model ini dapat dioperasionalisasikan dengan cara, dikonseptualisasikan lewat telaah empirik, lewat abstraksi, lewat penjabaran yang dilangkahkan mondar-mandir antara induksi dan deduksi, berangkat dari dasar teoritik atau sistematik ilmu itu sendiri. Tetapi konseptualisasi tersebut jangan ditampilkan konklusif, melainkan ditampilkan inkonklusif, mungkin problematis, mungkin tentatif, mungkin hipotetik, mungkin bentuk lain yang membuka peluang alternatif, nuansif, atauopenanded. Kebenarannya masih bersifat probabilistik. 
2.Apakah Ilmu Ekonomi Islam Itu Suatu Ilmu Pengetahuan Yang Normatif, Positif, Atau      Bersifat Kedua-duanya?
Menurut pengertian umum, ilmu ekonomi positif mempelajari problema-problema ekonomik seperti apa adanya. Ilmu ekonomi normatif mempersoalkan bagaimana seharusnya sesuatu itu. Sering dikemukakan bahwa penelitian ilmiah dalam ilmu ekonomi barat lebih banyak membatasi diri pada persoalan-persoalan positif dari pada membatasi persoalan-persoalan normatif, yang tergantung pada penilaian tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Setidak-tidaknya pada tingkatan perumusan teoritik. Dalam pada itu beberapa ahli ekonomi islam juga telah berusaha untuk mempertahankan perbedaan antara ilmu pengetahuan positif dan normatif, sehingga dengan begitu mereka menuangkan analisa ilmu ekonomi islam dalam kerangka intelektual dunia barat.
Dalam ilmu ekonomi islam, aspek-aspek yang normatif dan positif itu saling berkaitan erat, sehingga setiap usaha untuk memisahkannya akan berakibat menyesatkan dan tidak produktif. Ini berarti bahwa ilmu ekonomi islam tidak berisi komponen-komponen normatif dan positif yang tidak dapat dibedakan sama sekali. Tetapi berdasarkan ini saja kita tidak dapat mengatakan bahwa ilmu ekonomi islam adalah ilmu pengetahuan positif atau normatif.
Setiap usaha untuk membedakan antara yang positif dan normatif akan berakibat buruk, dalam arti hal itu akhirnya akan menyebabkan lahir dan tumbuhnya “ sekularisme “ dalam ekonomi islam. Kecenderungan untuk menguji segala sesuatu dengan pengetahuan manusia yang terbatas dan prasangka akan merusak asas-asas dasar ekonomi islam.
Setiap usaha untuk menggolongkan ekonomi islam sebagai ilmu yang positif dan normatif justru akan merusak tujuan untuk apa ilmu itu sebenarnya diciptakan. Ini sama halnya bila kita mencoba memisahkan badan manusia yang untuk delapan puluh persennya terdiri dari air; tak pelak lagi badan itu akan binasa. Jadi, masalah dalam ekonomi islam, harus dipahami dan dinilai dalam rangka ilmu pengetahuan sosial yang terintegrasi, tanpa memisahkannya dalam kpmponen normatif dan positif.
3.Apakah Teori Ekonomi Islam Diperlukan, Mengingat Tidak AdanyaSuatu Ekonomi Islam Yang Aktual
Para positivis mengemukakan bahwa tidak perlu mengembangkan suatu teori ekonomi islam yang aktual untuk menguji ide terhadap masalah aktual. Dikatakannya bahwa pula teori harus menjelaskan fakta sebagaimana adanya. Dengan begitu, menurut mereka, tidak ada tempat untuk teori ekonomi islam, karena ia tidak dapat dijelaskan dan diramalkan dari realitas sosio-ekonomi dari masyarakat muslim kontemporer yang ada sekarang. Jadi, bagi mereka, ujian bagi suatu teori terletak pada kemampuannya untuk menjelaskan dan menerangkan realitas, walaupun sebenarnya dengan menyederhanakannya setiap teori menyimpang dari realitas.
Periode cepat dari inovasi yang terjadi setelah berkembangnya islam adalah suatu contoh spektakuler tentang bagaimanakah inovasi dalam agama dan nilai ekonomi membebaskan suatu masyarakat dari keseimbangan semula dan menghadapkannya pada segala konsekuensi dari dinamika kehidupan ekonomik. Jadi, larangan islam mengenai bunga diserta perintah mengeluarkan zakat berpengaruh besar terhadap perkembangan teori islam mengenai uang dan keuangan negara.
Keberadaan suatu ekonomi aktual ( yaitu realitas ) di mana ide dapat diuji terhadap problema aktual, sesungguhnya tidak terlalu diperlukan untuk penyusunan suatu teori sosial dan ekonomi yang pengembangannya dibutuhkan untuk menjelaskan baik realitas sekarang maupun realitas yang diharapkan.
Di masyarakat kontemporer, banyak teori ekonomi seperti konsep perbankan islami, zakat, dan sebagainya sedang dilaksanakan. Ada tiga alasan untuk mengembangkan teori ekonomi islam :
a.       Untuk belajar dari pengalaman terdahulu dengan mengidentifikasikan alasan tentang kewajaran atau ketidakwajaran penjelasan perilaku dan praktek ekonomi yang lampau, dengan teori ekonomi islam.
b.      Untuk menjelaskan keadaan ekonomi yang aktual betapapun berkeping-kepingnya (fragmented ) keadaan itu.
c.       Untuk mengidentifikasi “ kesenjangan “ antara teori ekonomi islam yang ideal dan praktek-praktek masyarakat muslim kontemporer, sehingga usaha untuk mencapai suatu keadaan yang ideal dapat diadakan.
4.Apakah Ilmu Ekonomi Islam Merupakan Suatu “Sistem“ Atau Suatu “Ilmu Pengetahuan“ ?
Ada yang menganggap ekonomi islam sebagai suatu “sistem“, dan ada pula yang menganggapnya sebagai suatu kekhususan dapat diperlakukan terhadapnya sebagai suatu “ilmu”. Perkataan “sistem“ diartikan sebagai suatu “keseluruhan yang kompleks : suatu susunan hal atau bagian yang saling berhubungan“, “ilmu“ adalah “pengetahuan yang dirumuskan secara sistematis“. Demikain pula, perkataan “ilmu“ didefinisikan sebagai “suatu wadah pengetahuan yang terorganisasi mengenai dunia fisik, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa“. Sejalan dengan definisi tentang “sistem“ ini dengan mudah kita dapat mengatakan bahwa ekonomi islam itu sesungguhnya adalah bagian dari suatu tata kehidupan lengkap, berdasarkan empat bagian nyata dari pengetahuan, yaitu : “pengetahuan yang diwahyukan“ ( yakni Al-Qur’an ), praktek-praktek yang berlaku pada waktu itu dalam masyarakat sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan ucapan-ucapannya yang bernas ( yakni sunnah dan hadits ), deduksi analogik. Penafsiran berikutnya dan konsensus yang tercapai kemudian dalam masyarakat, atau oleh para ulama ( yaitu ijma’ )”sistem“ ini memuat suatu mekanisme yang built-in untuk pemikiran jernih ( yaitu ijtihad ) tentang persoalan dan masalah baru sehingga penyelesaian dapat dicapai. Ini dibolehkan selama tidak bertentangan dengan komponen dasar dari sistem itu, ( yaitu Al-Qur’an dan sunnah ). Dengan begitu terlihatlah bahwa suatu “sistem“ memuat prinsip yang mengatur seluruh tata kehidupan.[7]
5 Konsep Dasar Ekonomi Islam
                                  
Adapun sumber-sumber atau dasar-dasar perekonomian dalam perekonomian Islam tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Konsep Dasar Ekonomi Berdasarkan al-Qur’an
Didalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang mengisyaratkan perlu adanya upaya membangun perekonomian. Ayat-ayat tersebut diantaranya:
Ayat tentang pengelolaaan harta  yang terdapat dalam Q.S. al-A’raf (7): 128
Terjemahnya:
“Musa berkata kepada kaumnya: “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesunggunhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa[8]  
Pada ayat ini, Allah mengamanatkan bumi serta isinya bagi manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya. Dan hendaknya manusia meningkatkan ilmu pengetahuan guna menyimak berbagai fenomena yang ada di bumi.
2.      Konsep Dasar Ekonomi berdasarkan Hadis
Hadis Tentang Jasa
H.R. Muslim
Artinya:
Abdullah bin Yusuf berkata kepada kami, Malik dari Abi ziyad dari al-A’raj dari Abi Hurairah ra. Berkata. Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kezaliman. Dan jika salah seoarang dari kamu diikutkan (di-hawalah-kan) kepada orang yang mampu / kaya, terimalah hawalah itu.(HR. Bukhari, Muslim, Nasa’i, Abi Dawud, Ibnu Majah, Imam Ahmad, Imam Malik dan al-Darimi.
3.      Ijtihad
Ijtihad dalam makna bahasa berasal dari kata ja-ha-da yang berarti berusaha dengan sungguh-sungguh[9]. Adapun dalam makna istilah sebagaimana yang dikemukakan oleh Miftahul Arifin dan Faisak Haq adalah mencurahkan daya kemampuan untuk menghasilkan hukum syara’ dari dalil-dalil syara’ secara terperinci[10] yang tentunya bersifat operasional dengan cara istinbat (mengambil kesimpulan hukum).
Mengenai Ijtihad, menurut Imam al-Amidi sebagaimana yang dikutip oleh Heri Sudarsono mengatakan bahwa melakukan ijtihad harus sampai merasa tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuan, menurut Imam al-Gazali batasan sampai merasa tidak mampu sebagai bagian dari defenisi ijtihad al-Tam (defenisi sempurna).
4.      Qiyas
Qiyas adalah istilah ushul, yaitu mempersamakan peristiwa yang tidak terdapat nash hukumnya dengan peristiwa yang terdapat nas bagi hukumnya.  Dalam hukum yang terdapat nas untuk menyamakan dua peristiwa pada sebab hukum ini. Qiyas merupakan metode pertama yang yang dipegang para mujtahid untuk mengistimabatkan hukum yang tidak diterangkan nash, sebagai metode yang terkuat dan paling jelas.

BAB III
P E N U T U P
Kesimpulan
Secara keseluruhan dapatlah dikatakan bahwa para ekonomi Islam yang bertekad untuk memulai dengan serius., kini telah dapat memperoleh pengertian luas tentang metode penelitian deduktif atau induktif dalam merumuskan teori dan kebijaksanaan Islami. Karena, merupakan hal yang sahih untuk suatu teori yang Islami sarat nilai yang ideal dapat mempunyai dimensi waktu dan ruang. Hal ini diperlukan untuk menjelaskan tentang perilaku lembaga, dan organisasi ekonomik di masa lampau, sekarang dan membayangkannya untuk masa yang akan datang. Tetapi ini harus dipahami dalam kerangka abadi yang lebih luas dari prinsip-prinsip Al-Qur’an danSunnah. Walaupun ekonomi Islam adalah bagian dari suatu “sistem“, tetapi ia juga merupakan suatu ilmu. Perbedaan antara ilmu ekonomi positif dan normatif tidak diperlukan, juga tidak diinginkan: dalam hal-hal tertentu malah akan menyesatkan. Namun harus dicatat bahwa metode penelitian dapat berupa deduktif, induktif, atau kombinasi dari keduanya. Metode deduktif sebagaimana yang dikembangkan oleh para ahli hukum Islam, dapat diterapkan pada ekonomi Islami dalam mendeduksikan prinsip sistem Islam itu dari sumber-sumber hukum Islam. Metode induktif dapat pula digunakan untuk mendapatkan penyelesaian dan problema ekonomik dengan menunjuk pada keputusan historik yang sahih. Namun harus diakui bahwa masih banyak yang harus dilakukan untuk membahas soal ini menjadi komprehensif dan lebih bermutu.
                                                                                            




DAFTAR PUSTAKA
Mannan, M. Abdul, Teori Dan PraktekcEkonomi Islam, Yogyakarta, P.T Dana Bhakti Yasa, 1997.
Lubis, Suhrawardi K, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2000.
Muhammad,Mikro Ekonomi Dalam Perspektif Islam, Yogyakarta, BPEF 2004/2005
[1]Daryanto, SS., Kamus Bahasa Indonesia Lengkap (Surabaya: Apollo, 1997), h. 350.
[2]HRA Rivai Wirasasmita et. al, Kamus Lengkap Ekonomi (Bandung: CV. Pionir Jaya, 2002), h. 142
[3] Ahmad Muhammad al- Assal dan Fathi Ahmad Abd al-Karim, al-Nizam al-Iqtisadi fi al-Islam; Mabadiuhu wa Ahdafuhu diterjemahkan oleh H. Imam Saefudin dengan judul Sistem, Prinsip dan, T ujuan Ekonomi Islam (Cet. I; Bandung: CV. Pustaka setia, 1999), h. 10




[1] HRA Rivai Wirasasmita et. al, Kamus Lengkap Ekonomi (Bandung: CV. Pionir Jaya, 2002), h. 142
[2] Ahmad Muhammad al- Assal dan Fathi Ahmad Abd al-Karim, al-Nizam al-Iqtisadi fi al-Islam; Mabadiuhu wa Ahdafuhu diterjemahkan oleh H. Imam Saefudin dengan judul Sistem, Prinsip dan, T ujuan Ekonomi Islam (Cet. I; Bandung: CV. Pustaka setia, 1999), h. 10

[3] Ibid
[4] Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam; Suatu Pengantar (Cet. I; Yogyakarta: Ekonosa, 2002), h. 25-47
                                                                                                                                                                                                
[5] Ibid, h. 32
[6] Syed Nawab Haider Naqvi, Islam, Economics, and Society, yang diterjemahkan oleh  M. Saiful Anam dan Muhammad Ufuqul Mubin, dengan Judul Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar), h. 57
[7] Mannan, M. Abdul, Teori Dan PraktekcEkonomi Islam, Yogyakarta, P.T Dana Bhakti Yasa, 1997.
Lubis, Suhrawardi K, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2000.

[8] Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir al-Qur’an; Dibawah Pengawasan Kementrian Urusan Agama Islam Wakaf, Da’wah dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabiah, al-Qur’an dan terjemahnya (Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahad Litba’ati al-Mushaf al-yarid, 1422 H),  h. 240
[9] Adib Bisri dan Munawwir A. Fatah, Kamus Indonesia Arab – Arab Indonesia, (Cet. I; Surabaya: Pustaka Progresif, 1999), h. 88
[10] Miftahul Arifin dan Faisal Haq, Ushul Fiqh; Kaidah-kaidah Penetapan hukum Islam (Surabaya: Citra Media, 1997), h. 109