Rabu, 12 Juni 2013

LEGALITAS IJAZAH ACUAN KEPERCAYAAN


Sekolah, lalu mendapatkan ijazah akan menjadi kebutuhan yang tidak bisa terelakkan saat ini. Ke mana dan di mana saja mencari pekerjaan pertama sekali diminta adalah tanda lulus bertabur nilai-nilai fantastis. Memang, wajib belajar sudah dicanangkan pemerintah selama sembilan tahun, artinya setiap individu di negara ini mau tidak mau harus mendapatkan pendidikan layak tersebut. Cara yang dicapai, mulai dari kesadaran orang tua mengantarkan anak-anak mereka ke sekolah juga dengan kemauan sang anak untuk berpendidikan tinggi. Menghilangkan buta huruf selayaknya bukan lagi suatu penyakit yang mesti dihindari. Setiap pelosok hampir semua orang bisa baca tulis. Walaupun mereka yang tua renta tersebut tidak mengenyam bangku pendidikan sampai sembilan tahun seperti yang sudah ditargetkan orang berkepentingan di negeri ini.
Ijazah adalah sebuah “mata uang” yang sangat penting di dunia kerja. Itulah sebabnya, hampir semua orang mengumpulkan mata uang jenis ini sebanyak-banyaknya. Jika kita tela’ah, banyak berjuta-juta orang sekolah bukan untuk mendapatkan ilmunya melainkan untuk mendapatkan selembar ijazah, sehingga mungkin bisa di katakan ilmu itu hanyalah bonus yang di dapat dari proses pendidikan dan tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan selembar ijazah dan mendapatkan pekerjaan.
Kesalahpahaman mengartikan ijazah
Sebenarnya, apa sih arti dari selembar ijazah itu sehingga jutaan orang rela melakukan berbagai cara untuk mendapatkan selembar ijazah?
ijazah secara fisik adalah selembar kertas dengan nomor seri di atasnya, kemudian dituliskan juga di situ nama sekolah yang mengeluarkannya, lalu ada tercantum juga identias si pemilik ijazah tersebut, juga identitas sekolah tempat dia menuntut ilmu dan gelar yang ia dapat dari sekolah yang mengeluarkannya.
Masyarakat di Indonesia banyak menyebut ijazah dengan nama lain yaitu “Surat Tanda Tamat Belajar”. Kalau paradigma kita dalam memahami ijazah, hanya sebatas surat tamat belajar, bagaimana orang yang sudah menyelesaikan studinya disekolah atau perguruan tinggi, mereka akan meniggalkan belajar setelah mendapatkan ijazah dan pekerjaan. Bukankah manusia dikaruniai akal adalah agar akal itu dipergunakan dan dikembangkan, kalau  belajarnya sudah tamat bagaimana akal tersebut bisa maksimal untuk digunakan.
Sebagaimana yang telah di ketahui, Ujian Nasional yang merupakan proses untuk mendapatkan penobatan secara sah dari Negara, dengan mendapatkan ijazah yang bertuliskan beberapa angka yang asumsinya sebagai nilai kualitas seorang pelajar. Tidak bisa dipungkiri, sesungguhnya hal inilah yang diupayakan bahkan diperjuangkan oleh mayoritas anak bangsa. Sebab menurut mereka, dengan adanya ijazah mereka bisa memiliki peluang untuk meniti karier dan bisa menempatkan kadudukannya pada posisi strategis di kehidupan sosial. Bahkan ada yang beranggapan, untuk melanjutkan hidup harus memiliki ijazah.
Sepertinya Ijazah diasumsikan sebagai kunci untuk membuka pintu impian, diasumsikan sebagai kekuatan untuk menggapai cita-cita, diasumsikan sebagai pengendali yang mampu mengantarkan pada posisi strategis, diasumsikan sebagai biji padi yang tumbuh lalu manjadi nasi yang mengenyangkan perut.
Mungkin asumsi tepatnya, dengan ijazah, kedudukan, kenikmatan, kebahagiaan, martabat dan lain segalanya dapat diraih dan dirasakan. Dan asumsi lebih tepatnya, dengan Ijazah, hidup seseorang akan lebih terjamin. Akibatnya, banyak siswa yang lebih-hanya mementingkan Ijazah mementingkan formalitas (Ijazah) tanpa memperhatikan dengan serius pada esensi dari proses belajar yang telah ditempuh selama beberapa tahun.
Sejak dahulu orang sudah memiliki pandangan bahwa pendidikan, sekolah, dan ijazah adalah satu kesatuan yang tidak terpisah. Orang sekolah memang untuk mencari ijazah. Artinya, di sini terjadi penyatuan pemahaman mengenai pendidikan, sekolah, dan ijazah menyatu semakin meluruskan pemahaman kita, bahwa sekolah bila diartikan sebagai wahana mendapatkan pengetahuan atau pendidikan dan sekolah juga menjadi wahana untuk mendapatkan ijazah. Dengan begitu kita akui bahwa di situlah letak penting ijazah terutama sebagai ukuran ilmu pengetahuan atas suatu jenjang pendidikan tertentu. Atau, dalam arti lain ijazah sudah selayaknya menjadi tolak ukur dari skill atau kemampuan seseorang, dan tidak melupakan bahwasanya orang yang tidak memiliki ijazah juga mempunyai skill atau kemampuan, walaupun mereka tidak sekolah tapi mempunyai pendidikan yang mungkin lebih baik dari mereka yang bersekolah.

Sisi positif adanya ijazah tertulis
Ada banyak cara orang mendapatkan ijazah. Ada yang dengan perjuangan keras melalui belajar siang malam dengan kesungguhan  dengan harapan bisa memperbaiki kualitas hidup, ijazah bagi orang seperti ini adalah bukti konkrit bagi kesungguhannya dan sarana serta motivasi bagi dia untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Ada juga orang yang mendapatkan ijazah sebagai buah dari kecintaannya akan ilmu  pengetahuan, ijazah adalah semacam bonus atau penghargaan bagi usahanya dalam memahami dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Ijazah memang penting sebagai tanda pengakuan, bahwa seseorang telah menyelesaikan  suatu program pendidikan  tertentu. Hanya saja ada pemahaman yang agak keliru, apa pun pendidikan yang didapat-- melalui cara apa saja-- yang penting mendapatkan ijazah. Pandangan seperti ini sangat berbahaya, mendorong kita untuk instan dan spekulatif.
Pendidikan adalah salah satu hal yang penting kita perhatikan, pentingnnya pendidikan sangat terlihat jelas. Melamar pekerjaan yang layak tentu membutuhkan ijazah sesuai dengan jabatan yang akan kita lamar. Jabatan yang tinggi tentunya membutuhkan orang yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi juga yang dibuktikan dengan ijazah. Tapi apakah ijazah yang notabene merupakan simbol tingkat pendidikan sesorang berbanding lurus dengan pengetahuan yang dimiliki. Hal ini patut kita perhatikan dan amati bersama, apalagi di era globalisasi yang penuh persaingan dan tidak sedikit orang yang menghalalkan segala cara untuk memenangkan kompetisi tersebut.

Bukti empiris lebih akurat dari sekedar bukti tertulis
Kuliah pada hakikatnya merupakan suatu dunia dimana mahasiswa mampu mengembangkan potensi dirinya secara penuh, tidak hanya hard skills yang berupa segala ilmu yang dipelajari pada saat sesi perkuliahan, tapi juga soft skills yang tidak cukup untuk didapat pada sesi perkuliahan. Soft skills adalah kemampuan dalam bentuk sifat dan kepribadian, keterampilan sosial, komunikasi bahasa, kepemimpinan, serta optimisme yang terkait dengan hubungan antar individu. Jika hard skills erat kaitannya dengan akademik, maka soft skills erat kaitannya dengan non akademik.
Di dunia kerja saat ini, tidak hanya membutuhkan lulusan yang memiliki hard skills yang tinggi, tapi juga membutuhkan lulusan yang memiliki soft skills sebagai kemampuan berinteraksi dengan pekerja yang lainnya. Selain itu, soft skills dibutuhkan sebagai parameter penilaian kepribadian yang akan memberikan nilai plus pada saat wawancara kerja atau pada saat penaikan jabatan.
Selain di dunia kerja, soft skills juga dibutuhkan di dunia usaha. Bagi mahasiswa yang lebih tertarik berwirausaha dari pada bekerja, perlu meningkatkan soft skills-nya karena soft skills sangat berpengaruh dalam manajemen usaha dan marketing. Jika komunikasi dan kepribadian kita buruk, sulit untuk bisa mengembangkan usaha menjadi lebih maju. Walaupun punya modal besar, tapi tidak memiliki kemampuan tambahan yang mampu menjual produk yang ditawarkan, maka hasil usaha tersebut akan sia-sia.
Dimanakah kita bisa mengembangkan soft skills? Jawabannya adalah melalui organisasi. Dengan mengikuti dan menghayati pentingnya organisasi kampus, maka kita dapat mengembangkan diri dengan berbagai soft skills yang bisa didapat melalui pembelajaran di organisasi .
Jadi, kuliah itu tidak hanya untuk mengejar nilai dan wisuda, tapi kuliah adalah gerbang menuju dunia kehidupan yang sebenarnya. Selagi masih kuliah, perbanyaklah hard skills dan soft skills kita dengan belajar yang baik ditambah dengan keaktifan organisasi agar keduanya seimbang.
Tapi saat ini, hampir semua orang yang bersekolah bukan berorientasi pada ilmu yang bermanfaat tapi lebih diberatkan kepada selembar ijazah yang mungkin untuk membuatnya membutuhkan waktu tidak lebih dari satu jam. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan yang ada manakala seorang siswa telah lulus dari sekolahnya, yang menjadi acuan utamanya adalah bagaimana mencari kerja dengan menggunakan ijazah yang dimiliki yang telah dia usahakan selama bertahun-tahun.
Ijazah hanyalah sebuah bukti bahwa seorang siswa telah menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu. Dengan adanya ijazah dapat diketahui kemampuan seseorang berada pada level yang mana. Sayangnya, jika hal ini disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk meraup keuntungan yang tidak seberapa, maka makna ijazah itu sendiri akan menurun secara drastis. Ijazah tidak lagi mencerminkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Lain halnya dengan ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang bermanfaat tidak dapat dinilai dengan selembar ijazah ataupun berlembar-lembar ijazah atau juga sertifikat apalagi uang. Ilmu yang bermanfaat dapat mendatangkan ijazah, sertifikat, uang, bahkan tahta.
            Bagaimana jika orang mencari ilmu dari proses pendidikan tanpa mendapatkan ijazah?, apakah masih bisa di katakan ilmu-ilmunya yang penting?. Banyak sekali pertanyaan yang berkaitan dengan selembar kertas ini.
Tidak dapat di pungkiri, pada era modernisasi ini banyak sebagian orang yang meghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan selembar kertas itu, misalnya dengan teknologi yang serba canggih, orang bisa dengan mudah memanipulasi selembar ijazah sesuai dengan apa yang mereka inginkan tanpa harus melewati proses pendidikan yang begitu kompleks. Untuk apa mereka semua yang melakukan cara  itu demi mendapatkan ijazah ? tuntutan.  Tuntutan lah yang memaksa mereka untuk memalsukan data-data pribadi mereka. Tuntutan itu bisa datang demi profesi, harga diri, atau hanya sekedar gaya.
Jangan heran dengan melihat apa yang terjadi dari keadaan ini, korupsi ada dimana-mana, penipuan merajalela dan masih banyak lagi kekacauan yang semakin menjadi-jadi, dan kita tidak bisa sepenuhya menyalahkan mereka juga. Karena mereka sebenarnya hanya korban dari system error yang di terapkan. Coba kalau kita flashback ke beberapa tahun silam kalau kita pernah mendengar cerita atau pengalaman dari orang tua atau orang-orang yang terdahulu, betapa sulitnya beliau-beliau mendapatkan selembar ijazah itu karena apa ? karena yang lebih di tekankan adalah transfer of knowledge-nya, tapi apa dampak dari perjuangan beliau-beliau yang begitu sulit mendapatkan selembar, beliau tidak hanya semata-mata mendapatkan selembar ijazah “kosong” melainkan beserta ilmu-ilmunya. Tapi kalau kita bandingkan dengan jaman sekarang yang lagi musim money system, semuanya bisa kita dapatkan dengan mudah dengan uang. Dengan uang segalanya lancar, apa akibatnya banyak sarjana-sarjana nganggur, sarjana abal-abal alias aspal alias asli tapi palsu karena mereka hanya menginginkan segala sesuatunya dengan instan tanpa ribet sehingga transfer of knowledge tidak sampai di pikiran mereka.


Saat ini , ijazah bukan lagi sebuah tuntutan yang harus dicapai sebagai syarat jadi acuan kepercayaan. Ijazah memang PENTING sebagai SYARAT melamar pekerjaan.  Tetapi RELASI, SKILL dan PENGALAMAN jauh LEBIH PENTING daripada sekedar ijazah