Sekolah,
lalu mendapatkan ijazah akan menjadi kebutuhan yang tidak bisa terelakkan saat
ini. Ke mana dan di mana saja mencari pekerjaan pertama sekali diminta adalah
tanda lulus bertabur nilai-nilai fantastis. Memang, wajib belajar sudah
dicanangkan pemerintah selama sembilan tahun, artinya setiap individu di negara
ini mau tidak mau harus mendapatkan pendidikan layak tersebut. Cara yang
dicapai, mulai dari kesadaran orang tua mengantarkan anak-anak mereka ke
sekolah juga dengan kemauan sang anak untuk berpendidikan tinggi. Menghilangkan
buta huruf selayaknya bukan lagi suatu penyakit yang mesti dihindari. Setiap
pelosok hampir semua orang bisa baca tulis. Walaupun mereka yang tua renta
tersebut tidak mengenyam bangku pendidikan sampai sembilan tahun seperti yang
sudah ditargetkan orang berkepentingan di negeri ini.
Ijazah
adalah sebuah “mata uang” yang sangat penting di dunia kerja. Itulah sebabnya,
hampir semua orang mengumpulkan mata uang jenis ini sebanyak-banyaknya.
Jika kita tela’ah, banyak berjuta-juta orang sekolah bukan untuk mendapatkan
ilmunya melainkan untuk mendapatkan selembar ijazah, sehingga mungkin bisa di
katakan ilmu itu hanyalah bonus yang di dapat dari proses pendidikan dan tujuan
utamanya adalah untuk mendapatkan selembar ijazah dan mendapatkan pekerjaan.
Kesalahpahaman mengartikan ijazah
Sebenarnya, apa sih arti dari selembar ijazah
itu sehingga jutaan orang rela melakukan berbagai cara untuk mendapatkan
selembar ijazah?
ijazah secara fisik
adalah selembar kertas dengan nomor seri di atasnya, kemudian dituliskan juga
di situ nama sekolah yang mengeluarkannya, lalu ada tercantum juga identias si
pemilik ijazah tersebut, juga identitas sekolah tempat dia menuntut ilmu dan
gelar yang ia dapat dari sekolah yang mengeluarkannya.
Masyarakat di Indonesia
banyak menyebut ijazah dengan nama lain yaitu “Surat Tanda Tamat Belajar”.
Kalau paradigma kita dalam memahami ijazah, hanya sebatas surat tamat belajar,
bagaimana orang yang sudah menyelesaikan studinya disekolah atau perguruan
tinggi, mereka akan meniggalkan belajar setelah mendapatkan ijazah dan
pekerjaan. Bukankah manusia dikaruniai akal adalah agar akal itu dipergunakan
dan dikembangkan, kalau belajarnya sudah
tamat bagaimana akal tersebut bisa maksimal untuk digunakan.
Sebagaimana yang telah di
ketahui, Ujian Nasional yang merupakan proses untuk mendapatkan penobatan
secara sah dari Negara, dengan mendapatkan ijazah yang bertuliskan beberapa
angka yang asumsinya sebagai nilai kualitas seorang pelajar. Tidak bisa
dipungkiri, sesungguhnya hal inilah yang diupayakan bahkan diperjuangkan oleh
mayoritas anak bangsa. Sebab menurut mereka, dengan adanya ijazah mereka bisa
memiliki peluang untuk meniti karier dan bisa menempatkan kadudukannya pada
posisi strategis di kehidupan sosial. Bahkan ada yang beranggapan, untuk
melanjutkan hidup harus memiliki ijazah.
Sepertinya Ijazah
diasumsikan sebagai kunci untuk membuka pintu impian, diasumsikan sebagai
kekuatan untuk menggapai cita-cita, diasumsikan sebagai pengendali yang mampu
mengantarkan pada posisi strategis, diasumsikan sebagai biji padi yang tumbuh
lalu manjadi nasi yang mengenyangkan perut.
Mungkin asumsi
tepatnya, dengan ijazah, kedudukan, kenikmatan, kebahagiaan, martabat dan lain segalanya
dapat diraih dan dirasakan. Dan asumsi lebih tepatnya, dengan Ijazah, hidup
seseorang akan lebih terjamin. Akibatnya, banyak siswa yang lebih-hanya
mementingkan Ijazah mementingkan formalitas (Ijazah) tanpa memperhatikan dengan
serius pada esensi dari proses belajar yang telah ditempuh selama beberapa
tahun.
Sejak dahulu orang sudah memiliki pandangan bahwa
pendidikan, sekolah, dan ijazah adalah satu kesatuan yang tidak terpisah. Orang
sekolah memang untuk mencari ijazah. Artinya, di sini terjadi penyatuan
pemahaman mengenai pendidikan, sekolah, dan ijazah menyatu semakin meluruskan
pemahaman kita, bahwa sekolah bila diartikan sebagai wahana mendapatkan
pengetahuan atau pendidikan dan sekolah juga menjadi wahana untuk mendapatkan
ijazah. Dengan begitu kita akui bahwa di situlah letak penting ijazah terutama
sebagai ukuran ilmu pengetahuan atas suatu jenjang pendidikan tertentu. Atau,
dalam arti lain ijazah sudah selayaknya menjadi tolak ukur dari skill atau
kemampuan seseorang, dan tidak melupakan bahwasanya orang yang tidak memiliki
ijazah juga mempunyai skill atau kemampuan, walaupun mereka tidak
sekolah tapi mempunyai pendidikan yang mungkin lebih baik dari mereka yang
bersekolah.
Sisi positif adanya
ijazah tertulis
Ada banyak cara orang mendapatkan
ijazah. Ada yang dengan perjuangan keras melalui belajar siang malam dengan
kesungguhan dengan harapan bisa
memperbaiki kualitas hidup, ijazah bagi orang seperti ini adalah bukti konkrit
bagi kesungguhannya dan sarana serta motivasi bagi dia untuk mencapai apa yang
dicita-citakan. Ada juga orang yang mendapatkan ijazah sebagai buah dari
kecintaannya akan ilmu pengetahuan,
ijazah adalah semacam bonus atau penghargaan bagi usahanya dalam memahami dan
mengembangkan ilmu pengetahuan.
Ijazah
memang penting sebagai tanda pengakuan, bahwa seseorang telah
menyelesaikan suatu program
pendidikan tertentu. Hanya saja ada
pemahaman yang agak keliru, apa pun pendidikan yang didapat-- melalui cara apa
saja-- yang penting mendapatkan ijazah. Pandangan seperti ini sangat berbahaya,
mendorong kita untuk instan dan spekulatif.
Pendidikan
adalah salah satu hal yang penting kita perhatikan, pentingnnya pendidikan
sangat terlihat jelas. Melamar pekerjaan yang layak tentu membutuhkan ijazah
sesuai dengan jabatan yang akan kita lamar. Jabatan yang tinggi tentunya
membutuhkan orang yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi juga yang
dibuktikan dengan ijazah. Tapi apakah ijazah yang notabene merupakan simbol
tingkat pendidikan sesorang berbanding lurus dengan pengetahuan yang dimiliki.
Hal ini patut kita perhatikan dan amati bersama, apalagi di era globalisasi
yang penuh persaingan dan tidak sedikit orang yang menghalalkan segala cara
untuk memenangkan kompetisi tersebut.
Bukti empiris lebih
akurat dari sekedar bukti tertulis
Kuliah pada hakikatnya
merupakan suatu dunia dimana mahasiswa mampu mengembangkan potensi dirinya
secara penuh, tidak hanya hard skills yang berupa segala ilmu yang dipelajari
pada saat sesi perkuliahan, tapi juga soft skills yang tidak cukup untuk
didapat pada sesi perkuliahan. Soft skills adalah kemampuan dalam bentuk sifat
dan kepribadian, keterampilan sosial, komunikasi bahasa, kepemimpinan, serta
optimisme yang terkait dengan hubungan antar individu. Jika hard skills erat
kaitannya dengan akademik, maka soft skills erat kaitannya dengan non akademik.
Di dunia kerja saat ini,
tidak hanya membutuhkan lulusan yang memiliki hard skills yang tinggi, tapi
juga membutuhkan lulusan yang memiliki soft skills sebagai kemampuan
berinteraksi dengan pekerja yang lainnya. Selain itu, soft skills dibutuhkan
sebagai parameter penilaian kepribadian yang akan memberikan nilai plus pada
saat wawancara kerja atau pada saat penaikan jabatan.
Selain di dunia kerja, soft
skills juga dibutuhkan di dunia usaha. Bagi mahasiswa yang lebih tertarik
berwirausaha dari pada bekerja, perlu meningkatkan soft skills-nya karena soft
skills sangat berpengaruh dalam manajemen usaha dan marketing. Jika komunikasi
dan kepribadian kita buruk, sulit untuk bisa mengembangkan usaha menjadi lebih
maju. Walaupun punya modal besar, tapi tidak memiliki kemampuan tambahan yang
mampu menjual produk yang ditawarkan, maka hasil usaha tersebut akan sia-sia.
Dimanakah kita bisa
mengembangkan soft skills? Jawabannya adalah melalui organisasi. Dengan
mengikuti dan menghayati pentingnya organisasi kampus, maka kita dapat
mengembangkan diri dengan berbagai soft skills yang bisa didapat melalui
pembelajaran di organisasi .
Jadi, kuliah itu tidak
hanya untuk mengejar nilai dan wisuda, tapi kuliah adalah gerbang menuju dunia
kehidupan yang sebenarnya. Selagi masih kuliah, perbanyaklah hard skills dan
soft skills kita dengan belajar yang baik ditambah dengan keaktifan organisasi
agar keduanya seimbang.
Tapi saat ini, hampir semua orang yang bersekolah bukan berorientasi pada
ilmu yang bermanfaat tapi lebih diberatkan kepada selembar ijazah yang mungkin
untuk membuatnya membutuhkan waktu tidak lebih dari satu jam. Hal ini dapat
dilihat dari kenyataan yang ada manakala seorang siswa telah lulus dari sekolahnya,
yang menjadi acuan utamanya adalah bagaimana mencari kerja dengan menggunakan
ijazah yang dimiliki yang telah dia usahakan selama bertahun-tahun.
Ijazah hanyalah sebuah
bukti bahwa seorang siswa telah menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu. Dengan
adanya ijazah dapat diketahui kemampuan seseorang berada pada level yang mana.
Sayangnya, jika hal ini disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk meraup
keuntungan yang tidak seberapa, maka makna ijazah itu sendiri akan menurun
secara drastis. Ijazah tidak lagi mencerminkan nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya.
Lain halnya dengan ilmu
yang bermanfaat. Ilmu yang bermanfaat tidak dapat dinilai dengan selembar
ijazah ataupun berlembar-lembar ijazah atau juga sertifikat apalagi uang. Ilmu
yang bermanfaat dapat mendatangkan ijazah, sertifikat, uang, bahkan tahta.
Bagaimana jika orang mencari ilmu
dari proses pendidikan tanpa mendapatkan ijazah?, apakah masih bisa di katakan
ilmu-ilmunya yang penting?. Banyak sekali pertanyaan yang berkaitan dengan selembar
kertas ini.
Tidak dapat di pungkiri, pada era modernisasi
ini banyak sebagian orang yang meghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan
selembar kertas itu, misalnya dengan teknologi yang serba canggih, orang bisa
dengan mudah memanipulasi selembar ijazah sesuai dengan apa yang mereka
inginkan tanpa harus melewati proses pendidikan yang begitu kompleks. Untuk apa
mereka semua yang melakukan cara itu
demi mendapatkan ijazah ? tuntutan. Tuntutan
lah yang memaksa mereka untuk memalsukan data-data pribadi mereka. Tuntutan itu
bisa datang demi profesi, harga diri, atau hanya sekedar gaya.
Jangan heran dengan melihat apa yang terjadi
dari keadaan ini, korupsi ada dimana-mana, penipuan merajalela dan masih banyak
lagi kekacauan yang semakin menjadi-jadi, dan kita tidak bisa sepenuhya
menyalahkan mereka juga. Karena mereka sebenarnya hanya korban dari system
error yang di terapkan. Coba kalau kita flashback ke beberapa tahun silam kalau
kita pernah mendengar cerita atau pengalaman dari orang tua atau orang-orang
yang terdahulu, betapa sulitnya beliau-beliau mendapatkan selembar ijazah itu
karena apa ? karena yang lebih di tekankan adalah transfer of knowledge-nya,
tapi apa dampak dari perjuangan beliau-beliau yang begitu sulit mendapatkan
selembar, beliau tidak hanya semata-mata mendapatkan selembar ijazah “kosong”
melainkan beserta ilmu-ilmunya. Tapi kalau kita bandingkan dengan jaman
sekarang yang lagi musim money system, semuanya bisa kita dapatkan dengan mudah
dengan uang. Dengan uang segalanya lancar, apa akibatnya banyak sarjana-sarjana
nganggur, sarjana abal-abal alias aspal alias asli tapi palsu karena mereka
hanya menginginkan segala sesuatunya dengan instan tanpa ribet sehingga transfer
of knowledge tidak sampai di pikiran mereka.
Saat ini , ijazah bukan
lagi sebuah tuntutan yang harus dicapai sebagai syarat jadi acuan kepercayaan. Ijazah
memang PENTING sebagai SYARAT melamar pekerjaan. Tetapi RELASI, SKILL dan
PENGALAMAN jauh LEBIH PENTING daripada sekedar ijazah