Selasa, 09 April 2013

Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Syariah


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bank sebagai lembaga perantara jasa keuangan (financial intermediary), yang tugas pokoknya adalah menghimpun dana dari masyarakat, di harapkan dengan dana di maksud dapat memenuhi kebutuhan dana perkreditan yang tidak di sediakan oleh dua lembaga sebelumnya (swasta dan Negara). Indonesia sebagai Negara yang mayoritas penduduknya beragama islam, telah lama mendambakan kehadiran system lembaga keuangan yang sesuai tuntutan kebutuhan tidak sebatas financial namun juga tuntutan moralitasnya. Sistem bank mana yang di maksud adalah perbankan yang terbebas dari praktik bunga (free interest banking). Sistem bank bebas bunga atau di sebut pula bank islam atau bank syari’ah, memang tidak khusus di peruntukkan untuk sekelompok orang, namun sesuai landasan islam yang “Rahmatan lil ‘alamin”, didirikan guna melayani masyarakat banyak tanpa membedakan keyakinan yang di anut.
 
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian, tujuan dan
fungsi perkreditan?
2. Apa saja kegiatan Usaha dan Larangan Dalam
BPRS?
3. Apa saja jenis-jenis produk BPRS?
4. Apa saja akad-akad dalam BPRS?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Memberikan gambaran pengertian
dan tujuan dari perkreditan.
2. Memberikan penjelasan
tentang kegiatan usaha dan larangan dalam BPRS.
3. Memberikan penjelasan tentang jenis-jenis produk dalam BPRS.
4. Memberikan penjelasan tentang akad-akad dalam BPRS.








BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian, 
Sejarah perkembangan dan Tujuan pendirian BPRS.
1. PENGERTIAN BPRS
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPR-Syariah) adalah salah satu lembaga keuangan perbankan syariah, yang pola operasionalnya mengikuti prinsip–prinsip syariah ataupun muamalah islam.
BPRS berdiri berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Pada pasal 1 (butir 4) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, disebutkan bahwa BPRS adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
BPR yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah selanjutnya diatur menurut Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR/1999 tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. Dalam hal ini, secara teknis BPR Syariah bisa diartikan sebagai lembaga keuangan sebagaimana BPR konvensional yang operasinya menggunakan prinsip-prinsip syariah terutama bagi hasil.
2. SEJARAH PERKEMBANGAN
Istilah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dikenalkan pertama kali oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) pada akhir tahun 1977, ketika BRI mulai menjalankan tugasnya sebagai Bank pembina lumbung desa, bank pasar, bank desa, bank pegawai dan bank-bank sejenis lainnya. Pada masa pembinaan yang dilakukan oleh BRI, seluruh bank tersebut diberi nama Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Menurut Keppres No. 38 tahun 1988 yang dimaksud dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah jenis bank yang tercantum dalam ayat (1) pasal 4 UU. No. 14 tahun 1967 yang meliputi bank desa, lumbung desa, bank pasar, bank pegawai dan bank lainnya.
Status hukum Bank Perkreditan Rakyat (BPR) pertama kali diakui dalam fakta tanggal 27 Oktober 1988, sebagai bagian dari Paket Kebijakan Keuangan, Moneter, dan perbankan. Secara historis, BPR adalah penjelmaan dari beberapa lembaga keuangan, seperti Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai Lumbung Pilih Nagari (LPN), Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Desa (BKPD) dan atau lembaga lainnya yang dapat disamakan dengan itu. Sejak dikeluarkannya UU No. 7 tahun 1992 tentang Pokok Perbankan, keberadaan lembaga-lembaga keuangan tersebut status hukumnya diperjelas melalui ijin dari Menteri Keuangan.
Dalam perkembangan selanjutnya perkembangan BPR yang tumbuh semakin banyak dengan menggunakan prosedur-prosedur Hukum Islam sebagai dasar pelaksanaannya serta diberi nama BPR Syariah. BPR Syariah yang pertama kali berdiri adalah adalah PT. BPR Dana Mardhatillah, kec. Margahayu, Bandung, PT. BPR Berkah Amal Sejahtera, kec. Padalarang, Bandung dan PT. BPR Amanah Rabbaniyah, kec. Banjaran, Bandung. Pada tanggal 8 Oktober 1990, ketiga BPR Syariah tersebut telah mendapat ijin prinsip dari Menteri Keuangan RI dan mulai beroperasi pada tanggal 19 Agustus 1991.
Selain itu, latar belakang didirikannya BPR Syariah adalah sebagai langkah aktif dalam rangka restrukturasi perekonomian Indonesia yang dituangkan dalam berbagai paket kebijakan keuangan, moneter, dan perbankan secara umum.
Secara khusus mengisi peluang terhadap kebijakan bank dalam penetapan tingkat suku bunga (rate of interest) yang selanjutnya secara luas dikenal sebagai sistem perbankan bagi hasil atau sistem perbankan Islam dalam skala outlet retail banking (rural bank).
Perkembangan bank syariah dari awal keberadaannya hingga November 2001 terdapat  81 BPRS. BPRS tersebut distribusi jaringan kantor tersebar pada 18 provinsi yang berada di Indonesia.
3. TUJUAN PENDIRIAN BPRS
Terdapat beberapa tujuan yang dikehendaki dari berdirinya Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Di bawah ini disampaikan tujuan-tujuan tersebut beberapa sumber hanya menyebutkan butir-butirnya saja [1]yakni :
“Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam terutama kelompok masyarakat ekonomi lemah yang pada umumnya berada di daerah pedesaan. Sasaran utama dari BPRS adalah umat Islam yang berada di pedesaan dan di tingkat kecamatan. Masyarakat yang berada di kawasan tersebut pada umumnya ternasuk pada masyarakat golongan ekonomi lemah.
Kehadiran BPRS bisa menjadi sumber permodalan bagi pengembangan usaha-usaha masyarakat golongan ekonomi lemah, sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahtertaan mereka.
  1. Menambah lapangan kerja terutama di tingkat kecamatan, sehingga dapat mengurangi arus urbanisasi. Kehadiran BPRS di kecamatan-kecamatan ikut memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat yang memiliki potensi perbankan, baik dalam permodalan maupun dalam hal tenaga ahli. Sehingga semakin banyaknya BPRS di kecamatan-kecamatan maka akan semakin banyak pula tenaga yang terserap disektor perbankan. Selain itu, perkreditan-perkreditan yang disalurkan BPRS bagi masyarakat membuka peluang usaha dan kerja yang semakin luas, maka pada gilirannya kehadiran BPRS akan menjadi penghambat bagi lajunya urbanisasi.
  2. Membina ukhuwah Islamiyah melalui kegiatan ekonomi dalam rangka peningkatan pendapatan per kapita menuju kualitas hidup yang memadai. Hal ini mengandung makna bahwa dalam BPRS ditumbuhkan nilai ta’awun (saling membantu) antara pemilik modal dengan pemilik pekerjaan. Dengan nilai ta’awun inilah akan tumbuh kebersamaan antara bank dan nasabah yang merupakan faktor terpenting dalam mewujudkan Ukhuwah Islamiyah. Melalui kebersamaan tersebut usaha-usaha yang yang dilakukan masyarakat dengan modal yang diberikan oleh BPRS bisa meningkatkan pendapatan masyarakat, maka pada tingkat yang lebih tinggi akan pula meningkatkan perkapita baik lokal maupun nasional.
Djazuli dan Yadi Janwari menjabarkan tiga tujuan diatas menjadi lima tujuan[2], yaitu:
1.      Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam, terutama masyarakat golongan ekonomi lemah yang pada umumya berada di daerah pedesaan.
  1. Meningkatkan pendapatan per kapita
  2. Menambah lapangan kerja terutama di tingkat kecamatan.
  3. Mengurangi urbanisasi.
  4. Membina semangat Ukhuwah Islamiyah melalui kegiatan ekonomi.
    Untuk mencapai tujuan operasionalnya Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) tersebut diperlukan strategi operasional. Pertama, Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) tidak bersifat menunggu terhadap datangnya permintaan fasilitas, melainkan bersifat aktif dengan melakukan sosialisasi/penelitian kepada usaha-usaha yang berskala kecil yang perlu dibantu tambahan modal, sehingga memiliki prospek bisnis yang baik. Kedua, Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) memiliki jenis usaha yang waktu perputaran uangnya jangka pendek dengan mengutamakan usaha skala menengah dan kecil. Terakhir, Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) mengkaji pangsa pasar, tingkat kejenuhan serta tingkat kompetitifnya produk yang akan diberi perkreditan.
2.2 Kegiatan Usaha, Larangan, dan produk  Dalam Bank perkreditan Rakyat Syari’ah.
1.      KEGIATAN USAHA
Sebagai lembaga keuangan syariah pada dasarnya Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dapat memberikan jasa-jasa keuangan yang serupa dengan bank-bank umum syariah. Namun demikian, sesuai UU Perbankan No. 10 tahun 1998, BPR Syariah hanya dapat melaksanakan usaha-usaha sebagai berikut:
  1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
  2. Memberikan kredit.
  3. Menyediakan perkreditan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
  4. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia, deposito berjangka, sertifikat deposito, dan atau tabungan pada bank lain.
2.      KEGIATAN YANG DILARANG (Berdasarkan pasal 14 UU No.17 tahun 1992)
  1. Menerima simpanan dalam bentuk giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran
  2. Melakukan kegiatan usaha dalam bentuk valuta asing
  3. Melakukan penyertaan modal
  4. Melakukan usaha perasuransian
  5. Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana disebutkan pada kegiatan usaha yang boleh dilakukan oleh BPRS
3.      PRODUK-PRODUK BPR SYARIAH
Produk-produk yang ditawarkan BPR Syariah secara garis besar adalah :
a. Mobilisasi Dana Masyarakat
Bank akan mengerahkan dana masyarakat dalam berbagai bentuk seperti menerima simpanan wadi’ah, adanya fasilitas tabungan dan deposito berjangka. Fasilitas ini dapat digunakan untuk menitip shadaqah, infaq, zakat, persiapan ongkos naik haji (ONH), dll.
-          Simpanan amanah
Bank menerima titipan amanah berupa dana infaq, shadaqah dan zakat. Akan penerimaan titipan ini adalah wadi’ah yakni titipan yang tidak menanggung resiko. Bank akan memberikan kadar profit dari bagi hasil yang didapat melalui perkreditan kepada nasabah.
-          Tabungan wadi’ah
Bank menerima tabungan pribadi maupun badan usaha dalam bentuk tabungan bebas. Akad penerimaan yang digunakan sama yakni wadi’ah. Bank akan memberikan kadar profit kepada nasabah yang dihitung harian dan dibayar setiap bulan.
-          Deposito wadi’ah / deposito mudharabah
Bank menerima deposito berjangka pribadi maupun badan usaha. Akad penerimaannya wadi’ah atau mudharabah, dimana bank menerima dana yang digunakan sebagai penyertaan sementara dalam jangka 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 12 bulan, dst. Deposan yang menggunakan akad wadi’ah mendapat nisbah bagi hasil keuntungan lebih kecil dari mudharabah bagi hasil yang diterima dalam perkreditan nasabah setiap bulan.
b. Penyaluran Dana
-          Perkreditan mudharabah
Perjanjian antara pemilik dana (pengusaha) dengan pengelola dana (bank) yang keuntungannya dibagi menurut rasio sesuai dengan kesepakatan. Jika mengalami kerugian maka pengusaha menanggung kerugian dana, sedangkan bank menanggung pelayanan materiil dan kehilangan imbalan kerja.
-          Perkreditan musyarakah
Perjanjian antara pengusaha dengan bank, dimana modal kedua pihak digabungkan untuk sebuah usaha yang dikelola bersama-sama. Keuntungan dan kerugian ditanggung bersama sesuai kesepakatan awal.
-          Perkreditan bai bitsaman ajil
Proses jual beli antara bank dan nasabah, dimana bank menalangi lebih dulu pembelian suatu barang oleh nasabah, kemudian nasabah akan membayar harga dasar barang dan keuntungan yang disepakati bersama.
-          Perkreditan murabahah
Perjanjian antara bank dan nasabah, dimana bank menyediakan perkreditan untuk pembelian bahan baku atau modal kerja yang dibutuhkan nasabah, yang akan dibayar kembali oleh nasabah sebesar harga jual bank (harga beli bank plus margin keuntungan saat jatuh tempo).
-          Perkreditan qardhul hasan
Perjanjian antara bank dan nasabah yang layak menerima perkreditan kebajikan, dimana nasabah yang menerima hanya membayar pokoknya dan dianjurkan untuk memberikan ZIS.
-           Perkreditan Istishna’
Perkreditan dengan prinsip jual beli, dimana BPRS akan membelikan barang kebutuhan nasabah sesuai kriteria yang telah ditetapkan nasabah dan menjualnya kepada nasabah dengan harga jual sesuai kesepakatan kedua belah pihak dengan jangka waktu serta mekanisme pembayaran/pengembalian disesuaikan dengan kemampuan/keuangan nasabah.
           Perkreditan Al-Hiwalah
Penggambil alihan hutang nasabah kepada pihak ketiga yang telah jatuh tempo oleh BPRS, dikarenakan nasabah belum mampu untuk membayar tagihan yang seharusnya digunakan untuk melunasi hutangnya. Perkreditan ini menggunakan prinsip pengambil alihan hutang, dimana BPRS dalam hal ini akan mendapatkan ujroh/ fee dari nasabah yang besar dan cara pembayarannya berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, BPR Syariah harus berdasarkan prinsip syariah Islam dalam menjalankan kegiatan operasionalnya sebagaimana digariskan dalam Al-Qur’an dan hadits. Dalam penerapannya, produk perbankan syariah dirumuskan dan memperoleh persetujuan dari Dewan Syariah Nasional (DSN) sebagai lembaga yang ditetapkan pemerintah untuk merekomendasikan produk perbankan syariah telah sesuai dengan ketentuan syariah. Dalam menjalankan kegiatan usahanya, bank syariah khususnya BPRS masih memerlukan penyempurnaan, terutama dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip syariah secara utuh.
Hal ini dirasakan seperti dalam penerapan produk piutang murabahah, dimana perjanjian antara bank dengan nasabah terkait dengan perjanjian jual beli atas sesuatu barang untuk nasabah. Pihak bank telah mempelajari dengan seksama pengajuan permintaan kebutuhan barang untuk mendukung kegiatan nasabah, menyetujui permintaan nasabah untuk membeli barang dan menjual kepada nasabah dengan harga sesuai dengan harga pokok penjualan ditambah margim keuntungan yang diminta pihak bank.
Dalam pelaksanaannya, BPRS mengalami kesulitan dalam memenuhi ketentuan fatwa DSN ketika dalam transaksi piutang murabahah pihak bank masih memberikan uang bukan barang, lalu mempercayakan kepada nasabah untuk membeli barang yang dikehendaki sesuai jenis dan spesifikasi yang telah disepakati.
Hal ini masih terkesan bahwa BPRS memberikan pinjaman uang dan bukan membelikan barang. Kesulitan teknis pada transaksi pembelian barang sesuai kebutuhan nasabah yang melibatkan pihak ketiga/supplier diharapkan dapat diminimalisir dengan terjalinnya kerjasama dengan pihak ketiga/supplier sebagai mitra usaha BPRS dalam menyediakan barang-barang kebutuhan nasabah. Namun, kendala dan permasalahan tersebut diharapkan dapat teratasi manakala ada komitmen yang kuat dari stakeholders pengurus bank untuk secara konsisten dan istiqamah menjalankan kegiatan usaha dan perjanjian sesuai syariah Islam dan sesuai fatwa DSN.
Pelaksanaan kegiatan usaha BPRS secara kaffah sesuai syariah Islam mutlak dilakukan, karena justru dengan demikian kepercayaan masyarakat kepada perbankan syariah akan semakin meningkat, bukan sebaliknya. Menganggap pelaksanaan kegiatan usaha bank syariah sama dengan kegiatan usaha bank konvensional.
Sangat tepat jika cetak biru perkembangan perbankan syariah yang disiapkan oleh biro Perbankan Syariah Bank Indonesia telah menggariskan kebijakan stategis dan objektif sampai tahun 2004, yakni mendorong perbankan syariah untuk mematuhi dan melaksanakan kegiatan operasional sesuai syariah secara konsisten.
Dalam presefktif syariah, jika kegiatan usaha perbankan syariah dilaksanakan semata-mata sesuai ketentuan syariah, maka diharapkan usaha tersebut akan memperoleh ridho dari Allah SWT dan memberikan kemaslahatan bagi seluluh umat.

Daftar Pustaka

http://yunie160691.blogspot.com/2010/05/bank-pembiayaan-rakyat-syariah-bprs.html









[1] Sudarsono, 2004:85; Sumitro, 1997:111
[2] Djazuli, 2002: 108